Terobosan penting dilakukan anak-anak SMA se-Jakarta Barat melalui gelar lokakarya jurnalistik sehari. Kegiatan berbasis berani menulis menghadirkan tiga narasumber PosKota, Republika dan Gema Widyakarya. Ketiga narasumber tersebut sengaja dihadirkan atas prakarsa Sudin Pendidikan Jakarta Barat melalui Kasi SMA. Drs. Jusen Hardiman, M.Pd Kasi SMA Jakarta Barat menyatakan, bahwa lokakarya jurnalistik ini merupakan lanjutan dari kegiatan serupa yang pernah digelar tahun lalu.
Kegiatan ini berlangsung di SMA Al-Kamal, Kembangan Jakarta Barat media Juli 2011. H. Herman Budhi wartawan PosKota dalam sesi pertama memberikan motivasi luas agar siswa berani menulis. Kunci utama terletak pada bagaimana menyajikan berita secara sistematis. H. Herman Budhi hanya memberikan sebuah format latihan menulis berita secara piramida terbalik. Format ini menurutnya sangat mangkus dalam menyajikan berita secara detail. Herman juga menekankan pada prinsip bahasa jurnalistik yang bisa ‘menjual’.
Menurut Herman, bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele. Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung di dalamnya. Menerapkan prinsip 5 wh, membuang kata-kata yang mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian kalimatnya tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis). Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga.
Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati. Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu).
Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan perwujudan dua jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday (1972) sebagai fungsi ideasional dan fungsi tekstual atau fungsi referensial, yaitu wacana yang menyajikan fakta-fakta. Terdapat empat prinsip bahasa jurnalistik (retorika tekstual) yang dikemukakan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi dan prinsip ekspresifitas.
Prinsip ini dipertegas Teguh Setiawan, wartawan senior harian Republika. Teguh menyatakan, menulis itu gampang yang penting punya kemauan. Kuasai bahasa, pertajam sajian melalui latihan terpadu. Jangan ragu untuk menulis apa saja asal masuk akal dan bisa dijual. Teguh secara tegas mendorong anak-anak SMA berani mencoba menulis dalam berbagai bentuk.
Gunawan, guru SMPN 61 yang juga wartawan senior di majalah Gema Widyakarya secara sistematis mendeskripsikan kunci sukses menjadi penulis andal. Diawali dengan rajin membaca, membanding-bandingkan tulisan orang lain, mencoba menulis, yakin dan menghargai tulisan orang lain menjadi sebuah langkah awal yang manis. Gunawan yang dikenal sebagai penulis beberapa buku pedagogis terbitan swasta, menyatakan tanggungjawab pelajar bukan hanya pada komitmen mewujudkan perubahan. Artinya, pelajar harus bisa menulis. Kuncinya, terletak pada niat, percaya diri dan mau berkorban apabila tulisan tersebut gagal dimuat di surat kabar atau majalah.
Ide Gunawan dan Teguh memang bertumpu pada pentingnya latihan dan terus mencoba. Tidak pernah puas menjadi landasan bagi proses meniti karier sebagai penulis. Pengalaman Teguh berangkat dari kontemplasi ide, membaca lalu menuliskan ide tersebut, sedangkan Gunawan berangkat dari menemukan tema aktual, menentukan arah tulisan yang baru yang mengoda langsung menuliskannya dengan benar melalui rambu-rambu pakem bahasa jurnalistik seperti yang dipaparkan Herman.
Kreatif menulis seperti menurut Jusen Hardiman harus menjadi sebuah kegiatan ekstrakurikuler khususnya di SMA. Program ini harus dirumuskan oleh setiap sekolah dengan asupan rencana alokasi dana yang bisa dikontrol. Menulis menjadi sebuah keharusan masa depan dalam mengubah nasib anak bangsa ini, papar Jusen ketika menutup kegiatan tersebut. (bach)
Posting Komentar