Demosi alias pencabutan kewenangan seorang guru untuk tidak lagi mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah bukanlah masalah besar. Kepala sekolah itu guru. Ia harus menjalankan tupoksi sebagai tenaga pendidik. Jadi, kepala sekolah bukanlah jabatan. Guru harus mengajar. Keliru jika kebijakan demosi disikapi dengan emosi.
Tidak ada toleransi bagi guru (baca kepala sekolah) yang terkena demosi malah tidak menjalankan tugas untuk mengajar. Tugas pokok mengajar selama sepekan itu 24 jam atau 37,5 jam tatap muka. Bila ini diabaikan, maka yang bersangkutan harus memikul konsekuensi logis.
Begitu komentar Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, H. Taufik Yudi Mulyanto kepada Gema. Lebih jauh, doktor tamatan UNJ ini menyatakan, bahwa demosi bukanlah tsunami bagi karier seorang guru. Demosi juga penghargaan atas konsekuensi Perkemendiknas nomor 28 tahun 2010 terutama Bab V Pasal 10 yang mendeskripsikan terminologi masa tugas kepala sekolah.
Sejatinya guru harus terus mengaktualisasikan bakat dan kompetensi di bidangnya. Ia harus menjadi teladan dalam menjalankan tugas mulia. Beban moral sebagai pendidik dan salah satu agen perubahan harus teruji melalui ketaatan mengemban tugas.
Secara profesional guru yang mendapatkan tugas sebagai kepala sekolah itu merupakan kepercayaan tambahan. Ia harus memimpin sekolah. Di pundaknya seluruh tanggung jawab kemajuan itu harus diemban. Demosi itu hanya terminologi bagi proses pembinaan.
Demosi bukanlah meruntuhkan moral apalagi gengsi sekolah. Lucu, bila ada kepala sekolah terkena demosi lalu menjadi minder. Pola pikir kepala/pemimpin sekolah bila sifatnya permanen merupakan paradigma lama.
Demosi bukanlah pula pengurangan harkat kepemimpinan. Sejatinya, setiap guru itu pemimpin bagi anak didik. Ia harus juga memiliki pengetahuan luas tentang perundang-undangan. “Saya sangat tidak setuju bila kepala sekolah bermental post power syndrom”, tegas H. Taufik Yudi Mulyanto yang hobi membaca, menyanyi dan bersepeda.
Apa sanksi bila ada kepala sekolah terdemosi tidak menjalankan tugas? Berbicara sanksi itu haruslha selektif. Terlalu dini bila sedikit-sedikit Dinas Pendidikan menjatuhkan sanksi. Semua itu tak lepas dari koridor sejumlah produk hukum yang bertautan dengan tugas guru dan kewenangan kepala sekolah.
Artinya, setiap sekolah tidak melulu mengatur kursi siswa atau mejalankan mekanisme delapan standar nasional pendidikan. Guru tetap guru. Ketika ia menjadi kepala sekolah, ia harus siap menjadi guru kembali. Dimanapun ia harus ikhlas mengabdi tanpa dihantui post power syndrom.
Pola pikir kepala sekolah ‘seumur hidup’ harus dikikis. Perkemndiknas nomor 28 tahun 2010 sudah disosialisasikan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Tradisi kepala sekolah hanya dua periode sudah lama pula diberlakukan di tingkat SMA dan SMK. Untuk tingkat SD dan SMP memang sedang dan terus berlangsung secara bertahap. “Ya, katakanlah dalam masa transisi ini para kepala sekolah SD dan SMP mulai memahami keharusan dan tuntutan Perkemendiknas tersebut!” tambah H. Taufik Yudi Mulyanto.
Proses pembinaan sudah dilakukan melalui proses pelatihan, pengarahan dan berbagai sesi diskusi mulai di tingkat kecamatan, kota administrasi hingg provinsi. Tentunya, proses ini tidak ekslusif karena ini bukan sebuah persoalan serius. Seperti apapun sebuah perubahan/regulasi berbasis pendidikan itu sudah melalui mekanisme kelayakan. Demosi itu bukanlah hal besar. Jangan dibesar-besarkan, tutur H. Taufik Yudi Mulyanto mengakhiri wawancara dengan Gema. ◙ /Yadi/Gun/P.02/